Camat Elar Diduga CaplokTanah Ulayat Suku Ndoko

Editor: Jurnalis author photo


liputan6online.com
| NTT- Pembangunan BTS (Base Transceiver Station) atau tower mini di Kelurahan Tiwu Kondo, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, mendapat penolakan serius dari masyarakat.


Pasalnya, tanah yang digunakan untuk pembangunan BTS tersebut merupakan hak ulayat masyarakat persekutuan adat suku Ndoko.

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Tiwu Kondo, Sebastianus Hambur kepada media ini bahwa dirinya mengaku, pada April 2021 lalu, dua orang staf Kelurahan yaitu Benediktus Nurdin dan Aloysius Loho mendatangi dirinya. Ia diminta untuk menandatangani surat hibah lahan untuk pembangunan BTS. Namun, Sebastianus menolak atas permintaan itu.

Sebastianus mengatakan, surat hibah itu dibuat oleh Pemerintah kelurahan dan sudah ditandatangani oleh Lurah dan Camat Elar.

"Saya marah saat itu. Saya bilang, kapan kami masyarakat suku Ndoko hibahkan tanah itu ke Pemerintah? Mana buktinya?," kata Sebastianus.

Ia menilai hal itu sebagai bentuk pembodohan masyarakat, manipulasi sejarah dan lebih dari itu sebagai bentuk tindakan perampasan.

Bersama tu'a teno (kepala adat) dan masyarakat, pihaknya secara kompak menyatakan menolak dan meminta Pemerintah segera menghentikan aktivitas pembangunan BTS tersebut di tanah ulayat mereka.

penolakan itu, ada wacana beredar jika pembangunan BTS tersebut akan dialihkan ke wilayah lain. Namun, pada awal bulan September, tiba-tiba terlihat adanya aktivitas penggalian di lokasi.

"Rupanya mereka sengaja sebar isu pindah lokasi. Itu strategi untuk meninabobokan kami masyarakat pemilik ulayat," tuturnya.

Atas hal itu, masyarakat secara kompak membuat patok disekitar lokasi pembangunan BTS itu sebagai isyarat bahwa lokasi itu bukan milik Pemda Matim.

Pada 18 September 2021, jelas Sebastianus, bahwa sempat ada permintaan untuk buka forum dialog antara Pemda Matim dan masyarakat Suku Ndoko, namun Pemda Matim tidak mengindahkan.

Oleh karena itu, selain membuat patok, warga persekutuan Suku Ndoko juga mematok batas kantor kelurahan Tiwu Kondo karena juga dibangun di tanah adat Suku Ndoko.

Ia mengaku, pasca pematokan kayu batas di kantor kelurahan Tiwu Kondo, masyarakat kembali meminta ruang dialog dengan Pemerintah, namun itikad baik tersebut tidak diladeni.

Sehingga, pada tanggal 25 September, warga suku Ndoko memboikot tempat pembangunan BTS dan kantor kelurahan Tiwu Kondo.

"Kami memberi kesempatan hingga 4 Oktober untuk mengadakan diskusi bersama dengan Lurah, dan Camat. Namun hingga hari yang ditentukan pertemuan dibatalkan," ungkapnya.

Pemda Polisikan dan gunakan TNI-Polri untuk menakuti warga suku Ndoko

Sejumlah enam (6) orang warga suku Ndoku dipolisikan atas dugaan penyerobotan. Padahal, hal itu dilakukan hanya untuk mempertahankan hak ulayat.

“Tanggal 13 Oktober, saya dan Antonius Tanda memenuhi panggilan Polsek Sambi Rampas untuk klarifikasi laporan Pemda Matim bahwa masyarakat persekutuan Suku Ndoko telah melakukan penyerobotan lahan milik Pemda. Saya tambah bingung sebab tanah itu faktanya milik Ulayat suku Ndoko. Suku Ndoko sebenarnya tidak persoalkan pembangunan BTS, asalkan saja Suku Ndoko sendiri yang hibahkan tanah ke Pemda Matim. Oleh karena itu, surat hibah tanah pembangunan BTS yang dibuat oleh Pemda Matim harus dibatalkan demi hukum,” ungkap Sebastianus Hambur.

Pada tanggal 10 November 2021, tim gabungan TNI-POLRI, Lurah Tiwu Kondo, dan Camat Elar melakukan tindakan sewenang-wewang dengan mencabut patok batas baik yang ada ditempat pembangunan BTS maupun di Kantor Kelurahan Tiwu Kondo.

“Mereka sengaja libatkan TNI-Polri, rupanya sebagai strategi untuk menakuti warga. Jika ini tetap dilakukan hak warga Suku Ndoko benar-benar dirampas. Kami tidak punya kekuatan apapun, tapi kami percaya Pemda Matim akan bertindak seadil-adilnya,” ungkapnya.

Pengakuan Tua Teno Suku Ndoko dan Mantan Kepala Desa Tiwu Kondo

Sementara itu, Tua Teno (Kepala Adat) masyarakat persekutuan adat Suku Ndoko, Damianus Saro menjelaskan bahwa dirinya mengaku kecewa atas tindakan perampasan atau pencaplokan hak ulayat suku Ndoko oleh Pemda Matim. Menurutnya, hal itu sebagai bukti kealpaan Pemerintah dalam melindungi masyarakatnya.

“Kami butuh Pemda Matim hadir untuk melindungi hak Ulayat kami, bukan malah mencaplok, apalagi menggunakan TNI-POLRI untuk melawan kami. Sekarang kami butuh tindakan seadil-adilnya dari Pemda Matim,” ungkap Damianus.

Ia mengisahkan, selaku Kepala Adat Suku Ndoko belum pernah menghibahkan tanah kepada Pemerintah Kelurahan Tiwu Kondo.

“Tanah Ulayat suku Ndoko dilokasi pembangunan BTS dan kantor Kelurahan Tiwu Kondo luasnya sekitar 6 hektar. Tanah 6 hektar inilah yang diklaim milik Pemda Matim,” ungkapnya.

Damianus menuturkan, bersama warga, ia akan berjuang agar hak ulayat tetap menjadi milik suku Ndoko.

“Bagi kami suku Ndoko hak Ulayat adalah darah yang selalu mengalir. Karena itu, kami berjuang mencari keadilan agar hak kami tidak dirampas oleh siapapun,” ungkapnya.

Senada, Kepala Desa Tiwu Kondo periode 1988-1996, Sebastianus Nekong  mengungkapkan bahwa lokasi tempat pembuatan BTS belum dihibahkan ke Pemerintah kelurahan.

Menurutnya, peralihan status dari desa menjadi Kelurahan Tiwu Kondo, terjadi saat akhir masa jabatannya pada 1996. Saat itu, kata dia, tanah ditempat pembangunan BTS tidak pernah dihibahkan ke pemerintah Kelurahan Tiwu Kondo.

“Saya tahu persis, waktu peralihan dari status desa ke kelurahan pada 1996. Saat itu tidak ada hibah tanah dari masyarakat Persekutuan Suku Ndoko,” tutupnya. (L6OC/Eposth Ngaja)
Share:
Komentar

Berita Terkini